ZonaSainsKita~ Filsafat berperan dalam pembentukan suatu ilmu pengetahuan. Berikut sejumlah pemikiran yang mendasari pembentukan ilmu pengetahuan.
a. Pemikiran
Empirisme
Empirisme
menurut Maksum (2012:357) adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai
sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dengan cara observasi atau pengindraan. Empiris berasal dari bahasa
Yunani “empiris” yang berarti pengalaman indriawi. Karena itu, empirisme ini
dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalamaan sebagai sumber utama
pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun batiniah yang
menyangkut pribadi manusia.
Pada
dasarnya aliran empirisme ini bertentangan dengan rasionalisme. Rasionalisme
mengatakan bahwa pengenalan sejati berasal dari rasio karena pengenalan
indriawi merupakan satu bentuk pengenalan yang kabur. Sebaliknya, empirisme
berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman yang paling jelas dan
sempurna. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang
sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari
panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata
lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Tokoh-tokoh
yang menganut aliran empirisme yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan
David Hume. Menurut Hume prinsip dasar dari pemikiran empirisme adalah segala
gagasan sederhana kita awalnya dihasilkan dari kesan sederhana yang berkaitan
dengan gagasan itu dan benar-benar mewakili keberadaannya.
Menurut
Hume, pengalamanlah yang memberi informasi yang langsung dan pasti terhadap
objek yang diamati sesuai waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata
Hume, mengenyangkan saya, artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu
itu memiliki rahasia kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum
tentu bisa menjadi jaminan yang pasti pada waktu yang akan datang karena roti
itu unsurnya telah berubah karena tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak
sama lagi dengan makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber
informasi bahwa roti itu mengenyangkan, untuk selanjutnya hanya kemungkinan
belaka bukan kepastian.
Adapun
kelemahan dari aliran empirisme ini adalah:
1. Indra
sifatnya terbatas
2. Indra
sering menipu
3. Objeknya
juga menipu seperti ilusi/ fartamogana
4. Indra
sekaligus objeknya
b. Pemikiran
Idealisme
Menurut Maksum
(2012:361) idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia
fisik hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh.. Istilah idealisme
diambil dari kata idea, yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme juga
didefinisikan sebagai ajaran, faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas
ini terdiri atas ruh-ruh (sukma) atau jiwa, ide-ide dan pikiran atau sejenis
dengan itu. Idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide,
pemikiran-pemikiran, akal (mind) atau
jiwa (selves) dan bukan dari materal
dan kekuatan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa idealisme itu lebih
kepada ide sebagai hal yang lebih dahulu
dari pada materi.
Aliran ini merupakan
aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula
dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato yang
menyatakan bahwa alam idea itu merupakan kenyataaan sebenarnya. Adapun alam
nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa banyangan saja dari alam idea
itu. Aristoteles memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang
menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (enlecehie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan
pengaruhnya dari benda itu.
Tokoh – tokoh
dalam aliran idealisme ini adalah Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677),
Liebniz (1685-1753), Berkeley (16850-1753), J. Fichte (1762-1814), F. Schelling
(1755-1854), dan G. Hegel (1770-1831).
c. Pemikiran
Eksistensialisme
Eksistensialisme menjadi salah satu ciri pemikiran filsafat
abad XX yang sangat mendambakan adanya otonomi dan kebebasan manusia yang
sangat besar untuk mengaktualisasikan dirinya. Eksistensialisme berasal dari
kata eksistensi dari dasar kata exist. Kata exist itu sendiri berasal dari ahas
ex: keluar dan sister; berdiri. Jadi eksistensi bearti berdiri dengan keluar
dari diri sendiri.
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia yang mana eksistensia itu
sendiri adalah membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada,
eksis. Menurut hukum eksistensialisme hidup ini terbuka. Nilai hidup yang
paling itnggi adalah kemerdekaan dengan kemerdekaan itulah keterbukaan hidup
dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau
meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, hukum harus
disesuaikan atau bila perlu dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib,
peraturan, hukum dengan sendirinya sudah tak sesuai dengan hidup yang terbuka
dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu melihat ke belakang
dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik kemerdekaan menjadi tidak
leluasa lagi.
Eksistensialisme
nampaknya bersifat nihilistic, selalu merenungkan aspek-aspek yang negatif dari
kehidupan. Eksistensialisme merupakan
filsafat yang bersifat antropologis, karena memusatkan perhatiannya pada
otonomi dan kebebasan manusia. Dalam banyak hal eksistensialisme lebih dekat
dengan sastra dan seni dari pada filsafat formal. Tidak diragukan lagi bahwa
eksistensialisme memusatkan perhatiannya pada emosi manusia dari pada pikiran.
Karena
eksistensialime ini merenungkan aspek-aspek negative sehingga membuat segi
positif etika eksistensialme itu berkurang. Kelemahan etika eksistensialis ini
adalah:
1. Etika
eksistensialis terperosok ke dalam pendirian yang individualistis. Dengan
pendirian itu, alih-alih melaksanakan proyek hidup, bisa-bisa para pengikut
aliran eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena yang
baik ditentukan sendiri, bukan berdasarkan norma, maka yang dianggap baik
bukannlah kebaikan sejati melainkan baik menurut dan bagi diri mereka sendiri.
Cara memandang kebaikan yang individualistis itu dapat merugikan sesama,
masyarakat dan dunia.
2. Dengan
mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi manusia
yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma masyarakat yang sudah
usang. Namun, menyatakan segala norma masyarakat tak berlaku sungguh melawan
akal sehat. Karena norma masyarakat merupakan hasil perjalanan pencarian yang
tidak begitu saja mudah ditiadakan. Jika tidak mempergunakan sepenuhnya, paling
sedikit masih dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan titik tolak
pencarian nilai hidup lebih lanjut.
3. Dengan
mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan
sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang
tanpa batas.
4. Kaum
eksistensialis amat memperhitungan situasi. Namun situasi itu mudah goyah. Kelemahan
ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang dipegang kaum
eksistensialis. Bila orang bersandar pada situasi dan diri sendiri saja,
pandangannya menjadi terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit, dan
pendiriannya rapuh.
Tokoh-tokoh
dalam aliran ini adalah Immanuel Kant, jean-Paul Sartre, S. Kierkegaard
(1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin
Heiddegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973), Ren Le Senne dan M.
Merleau-Ponty (1908-1961).
Jadi dapat disimpulkan bahwa
eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya
itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat
bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan
dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan
manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan
antar manusia dengan lingkungan budaya).
d. Pemikiran
Pragmatisme
Istilah
pragmatisme berasal dari kata Yunani ‘pragma” yang berarti perbuatan atau
tindakan. “Isme” sama artinya dengan ismesisme yaitu aliran atau ajaran atau
paham. Dengan demikian, pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran
itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya adalah faedah dan manfaat.
Aliran
filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai
akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran. Pragmatisme
berusaha untuk menengahi antara tradisi empiris dan tradisi idealis, dan
menghubungkan hal yang sangat berarti dalam keduanya. Pragmatisme adalah suatu
sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan
kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai-nilai kebenaran.
Filsafat
pragmatisme merupakan suatu metoda memfilosofikan makna teori. Pragmatisme
lebih menekankan kepada metoda dan pendirian daripada kepada doktrin filsafat
yang sistematis. Ia adalah metoda penyelidikan eksperimenal yang dipakai dalam
segala bidang pengalaman manusia. Pragmatisme memakai metode ilmiah modern
sebagai dasar suatu filsafat. Ia sangat dekat kepada sains, khususnya biologi
dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan bertujuan untuk memakai jiwa ilmiah dan
pengetahuan ilmiah dalam menghadapi problema-problema manusia termasuk juga
etika dan agama. Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap sistem-sistem
filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan
realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu, filsafat telah keliru karena
mencari hal-hal yang mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi,
prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yang berubah serta
problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan kita tidak dapat melangkah
keluar daripadanya.
Filsafat
pragmatisme merupakan pergerakan asli dari Amerika yang lahir pada akhir abad
ke-19 dengan dimotori oleh William James, Charles Sanders Peirce, dan John
Dewey. Munculnya pragmatisme tidak terlepas dari pengaruh filsafat empirisme
yang telah berkembang sebelumnya.
Menurut
William James (1842-1910), pengertian atau urusan itu besar jika pada praktik
dapat digunakan. Putusan yang tidak dapat dipergunakan itu keliru. Kebenaran
itu sifat pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau
putusan itu benar, tidak saja jika dibuktikan artinya dalam keadaan jasmani
ini, akan tetapi juga bertindak dalam lingkungan ilmu, seni dan agama. Dalam filsafat, James berkata bahwa akal
dengan segala perbuatannya ditaklukkan perbuatan. Ia tak lebih pemberi
infromasi bagi praktik hidup dan sebagai pembuka jalan baru bagi
perbuatan-perbuatan kita.
Prinsip-prinsip
pragmatisme menurut James:
1. Bahwa
dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti dan tak ada diprediksi
tetapi dunia benar adanya.
2. Bahwa
kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide, tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide
dalam proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata
3. Bahwa
manusia bebas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya akan
dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya
maupun penguasaan ilmu pengetahuannya.
4. Bahwa
nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketentuan yang absolute, tetap semata-mata
terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang
lain tentang tempat kita tinggal di dalamnya.
John Dewey (859-1952) yang merupakan salah
satu dari tiga serangkai pembangun pragmatisme. Pragmatisme Peirce bersifat
eksperimental logika, sedangkan James empris humanis, dan akhirnya pragmatisme
Dewey meramu Hegelian dan Knatian yang idealis dengan logiknya Peirce dan James
sekaligus. Akhirnya pragmatisme Dewey menjadi instrumentalis. Ide, konsep dan
keputusan hanyalah instrument inkuiri bukan untuk mencari benar-salah,
melainkan untuk membuktikan lewat pengalaman efektif-tidak.
Menurut Dewey, tak ada sesuatu yang
tetap. Manusia itu selalu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika
ia mengalami kesulitan maka ia segera akan menghadapi kesulitan dengan mencari
solusinya. Kegiatan berpikir tersebut merupakan salah satu kegiatan untuk
merubah keadaan sebelumnya menuju keadaan berikutnya.
Selain itu Dewey juga menyebutkan
situasi tempat manusia hidup sebagai situasi problematik. Cara manusia bertindak
dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural.
Maka bila seseorang dalam mengadapi situasi problematis dan terdorong untuk
berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai
rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke
tindakan, dan tindakan sendiri belum muncul. Setelah orang bertindak dalam
situasi problematisnya tindakannya benar-benar terwujud.
Komentar
Posting Komentar