Landasan pengembangan Kurikulum 1964
Kurikulum 1947, Kurikulum
1952, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968/1969. Struktur dan materi
kurikulum pada periode tersebut di SD dan SMP tidak banyak mengalami perubahan
kecuali pada kurikulum mata pelajaran Kewarganegaraan dan Sejarah yang
diperbaharui karena perubahan politik, seperti masuknya Manipol Usdek dalam
kurikulum 1964. Sebagai bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan dan
diubahnya materi Pendidikan Kewarganegaraan pada era Orde Baru ( Kurikulum 1968
) menjadi Pendidikan Moral Pancasila. Pada kurikulum 1968/1969 di
tingkat SMA terjadi perubahan penjurusan dan struktur kurikulum antara tahun
1950, 1964 dan 1968/1968.
Pada sekitar tahun 1963,
terjadi revolusi di segala bidang termasuk dalam bidang pendidikan. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka disusunlah Rencana Pendidikan yang dimaksudkan dalam
rangka pembinaan bangsa. Latar belakang dan dasar pemikiran penyusunan Rencana
Pendidikan ini adalah agar bangsa yang merdeka dan berkepribadian memiliki sendiri
suatu gambaran manusia yang diinginkan, manusia yang dicita-citakan dan
bagaimana sifat-sifatnya. Dokumen Rencana Pendidikan ini sepenuhnya dipengaruhi
oleh Kurikulum Sekolah Dasar tahun 1964.
Pada tahun 1964 terjadi perubahan kurikulum. Pendidikan ideologi
yang difokuskan pada Manipol-USDEK,
Nasakom,
dan semangat revolusi. Mata pelajaran Kewarganegaraan yang meliputi materi
sejarah, ilmu bumi, dan kewargaan negara (nama baru civics) menjadi penting untuk
mengembangkan pendidikan ideologi dan dimasukkan dalam struktur
kurikulum dengan nama Perkembangan Moral (S. Hamid Hasan. 2010: 17).
Kehidupan kebangsaan di bidang politik
semakin didominasi oleh ideologi
Manipol-USDEK
yang dianggap sebagai manifestasi dari Pancasila. Pancasila bahkan
kemudian diperas menjadi trisakti dan kemudian diperas lagi menjadi gotong
royong. Nasakom (Nasional, Agama, Komunisme) menjadi jargon baru
bersama-sama dengan revolusi yang tak pernah selesai. Pendidikan semakin
dianggap penting untuk menanamkan jiwa revolusioner dan Nasakom. Kurikulum
harus berubah untuk lebih menghasilkan generasi revolusioner yang
berjiwa Nasakom (S. Hamid Hasan. 2010: 17).
Kurikulum 1964 tidak
bertahan lama. Situasi politik mengalami perubahan pesat dan terjadi peristiwa
yang dikenal dengan nama G.30.S/PKI. Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden
Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang memberikan
wewenang kepada Mayjen Soeharto untuk mengamankan ajaran Panglima Besar
Revolusi. Dengan kewenangan yang dimilikinya, Mayjen Soeharto kemudian
membubarkan PKI, sesuai dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Manipol-USDEK
dan Nasakom tidak lagi menjadi ideologi negara. Revolusi menemukan titik akhir
perjalanannya.
Pada tahun 1966, MPRS menetapkan kebijakan pendidikan untuk
menghilangkan pengaruh Manipol dan melarang ajaran komunis. TAP MPRS XXVI tahun
1966 menentukan bahwa pendidikan haruslah diarahkan pada (a) mempertinggi
mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, (b)
mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan, dan (c) membina/ memperkembangkan fisik
yang kuat dan sehat. Oleh karena itu maka kurikulum baru diperlukan untuk
membersihkan pikiran dan hati generasi muda dari ideologi tersebut. Meski pun
demikian, pendidikan ideologi terus berlanjut. Kurikulum baru segera dikembangkan
untuk menggantikan kurikulum 1964, dibersihkan dari Manipol-USDEK dan Nasakom (S. Hamid
Hasan. 2010: 18).
Pada akhir era kekuasaan
Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi Rencana Pendidikan
1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah konsep
pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran
ini mewajibkan sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan
persoalan (problem solving) (Herlina
dan Yuke Indrati. 2010: 31).
Rencana Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964.
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai
keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan
akademik untuk pembekalan pada jenjang SD. Kurikulum
1964 yang
menitik beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral,
yang kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana. Disebut Pancawardhana
karena lima kelompok bidang studi, yaitu kelompok perkembangan moral,
kecerdasan, emosional/artisitk, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pada
saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan anak.
Cara belajar dijalankan
dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Selain itu pemerintah menerapkan
hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada hari Sabtu, siswa diberi
kebebasan berlatih kegitan di bidang kebudayaan, kesenian, olah raga, dan
permainan, sesuai minat siswa. Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk
manusia pacasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-sifat seperti pada
ketetapan MPRS No II tahun
1960.
1.
Pendidikan sebagai pembina Manusia
Indonesia Baru yang berakhlak tinggi.
2.
Pendidikan sebagai produsen tenaga
kerja dalam semua bidang dan tingkatan.
3.
Pendidikan sebagai lembaga
pengembang Kebudayaan Nasional.
4.
Pendidikan sebagai lembaga
pengembang ilmu pengetahuan, teknik dan fisik/mental.
5.
Pendidikan sebagai lembaga penggerak
seluruh kekuatan rakyat.
Penyelenggaraan
pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi kelas I dan
II yang asalnya berupa skor 10 – 100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan
bagi kelas II hingga VI tetap menggunakan skor 10 – 100. Kurikulum 1964
bersifat separate subject curriculum,
yang memisahkan mata pelajaran berdasarkan lima kelompok bidang studi
(Pancawardhana). Mata Pelajaran yang ada pada Kurikulum 1964
adalah
sebagai berikut.
I. Pengembangan Moral
1.
Pendidikan kemasyarakatan
2.
Pendidikan agama/budi pekerti
II Perkembangan kecerdasan
1.
Bahasa Daerah
2.
Bahasa Indonesia
3.
Berhitung
4.
Pengetahuan Alamiah
III Pengembangan emosional atau Artistik
1.
Pendidikan kesenian
IV Pengembangan keprigelan (keterampilan)
Pendidikan
keprigelan
V Pengembangan jasmani
Pendidikan jasmani/Kesehatan
Pancawardhana ini membentuk manusia yang
harmonis jasmani dan rokhaninya. Pendidikan Pancawardhana untuk mengembangkan berbagai aspek kemanusiaan seorang peserta didik.
Peserta didik diharapkan menjadi sesorang yang cinta tanah air, memiliki moral yang dinyatakan sebagai moral nasional/internasional/keagamaan,
cerdas, memiliki rasa keindahan, trampil, dan
sehat jasmani. Prinsip-prinsip menyangkut hampir seluruh aspek kepribadian manusia. Mendidik
bukan hanya untuk melatih jasmaninya saja tetapi juga melatih kesanggupan
berpikir, memperluas pengalaman dan melatih kemauan, memelihara perasaan dan
memperkembangkan serta membentuk watak anak, dengan kata lain membentuk pribadi
anak sebulat-bulatnya.
Konsekuensi Pancawardhana dalam dunia pendidikan
sangat jelas. Kurikulum harus diarahkan
untuk mengembangkan kualitas yang dinyatakan dalam Pancawardhana dalam semangat Manipol-USDEK (Herlina dan Yuke Indrati, 2010: 37).
Pendidikan berarti pula mengembangkan
kecekatan, keprigelan, agar anak sebagai menusia mempunyai potensi-potensi
tertentu menghargai dan cakap menggunakan tangannya. Kecekatan yang diperlukan
untuk memperoleh kesadaran bekerja harus dipupuk sejak dini. Dengan
menghasilkan karya manusia sehingga dapat memiliki sifat rajin, teliti, tekun
dan sebagainya yang bernilai bagi hidup anak. Selain itu, Pendidikan juga
berarti mengembangkan kecekatan, keprigelan secara harmonis karena aspek-aspek
itu saling mengisi, saling melengkapi dan saling menyempurnakan (Herlina dan Yuke Indrati, 2010: 38).
Komentar
Posting Komentar