Menurut
Richards J. Heuer Jr. (1999: 2) menjelaskan bahwa “Thinking analytically is a skill like carpentry or driving a car. It
can be taught, it can be learned, and it can improve with practice. But like
many other skills, such as riding a bike, it is not learned by sitting in a
classroom and being told how to do it. Analysts learn by doing”. Pendapat
tersebut menjelaskan bahwa kemampuan berpikir analitis adalah keterampilan
seperti halnya keterampilan tukang kayu atau mengendarai sebuah mobil. Hal ini
dapat diajarkan, bisa dipelajari, dan dapat diimprovisasi dengan praktikum.
Akan tetapi, seperti banyak keterampilan lain, seperti menaiki sepeda, hal ini
tidak dipelajari hanya dengan duduk di kelas tetapi dengan melakukannya.
Selanjutnya dalam mempelajari kemampuan berpikir analitis hanya dengan
melakukannya dan mempraktikkanya langsung.
Salah
satu aspek kognitif dalam taksonomi Bloom yang menempati urutan keempat setelah
pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi adalah aspek analisis. Kemampuan berpikir
analisis merupakan suatu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh siswa. Kemampuan
berpikir analitis ini tidak mungkin dicapai siswa apabila siswa tersebut tidak
menguasi aspek-aspek kognitif sebelumnya. Menurut Sudjana (1989), analisis
merupakan tipe hasil yang kompleks karena memanfaatkan unsur pengetahuan,
pemahaman dan apalikasi.
Kemampuan
analitis adalah kemampuan siswa untuk menguraikan atau memisahkan suatu hal ke
dalam bagian-bagiannya dan dapat mencari keterkaitan antara bagian-bagian
tersebut. Menganalisis adalah kemampuan memisahkan materi (informasi) ke dalam
bagian-bagiannya yang perlu, mencari hubungan antarabagian-bagiannya, mampu
melihat (mengenal) komponen-komponennya, bagaimana komponen-komponen itu
berhubungan dan terorganisasikan, membedakan fakta dari hayalan.
Dalam
kemampuan analisis ini juga termasuk kemampuan menyelesaikan soal-soal yang
tidak rutin, menemukan hubungan, membuktikan dan mengomentari bukti, dan
merumuskan serta menunjukkan benarnya suatu generalisasi, tetapi baru dalam
tahap analisis belum dapat menyusun.
Penadapat
lain yang sejalan, Suherman dan Sukjaya (1990: 49) menyatakan bahwa kemampuan
analisis adalah kemampuan untuk merinci atau menguraikan suatu masalah (soal)
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (komponen) serta mampu untuk memahami
hubungan diantara bagian-bagian tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh Bloom
yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir analitis menekankan pada pemecahan
materi ke dalam bagian-bagian yang lebih khusus atau kecil dan mendeteksi
hubungan-hubungan dan bagian-bagian tersebut dan bagian-bagian itu diorganisir.
Bloom
mengklasifikasikan tingkat ranah kognitif menjadi enam kategori yaitu
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Klasifikasi
ini sering disebut dengan taksonomi Bloom. Bloom membagi aspek analisis ke
dalam tiga kategori , yaitu: 1) analis bagian (unsur) seperti melakukan
pemisalan fakta, unsur yang didefinisikan, argumen, aksioma (asumsi), dalil,
hipotesis, dan kesimpulan; 2) analisis hubungan (relasi) seperti menghubungkan
antara unsur-unsur dari suatu sistem (struktur) matematika; 3) analisis sistem
seperti mampu mengenal unsur-unsur dan hubungannya dengan struktur yang
terorganisirkan. Penjabaran dari ketiga kategori tersebut menurut Suharsimi
meliputi berbagai keterampilan, yaitu: memperinci, mengasah diagram,
membedakan, mengidentifikasi, mengilustrasi, menyimpulkan, menunjukkan dan
membagi. Kemampuan analisis yang dapat diukur adalah kemampuan mengidentifikasi
masalah, kemampuan menggunakan konsep yang sudah diketahui dalam suatu
permasalahan dan mampu menyelesaikan suatu persoalan dengan cepat.
Masih
terkait taksonomi Bloom, dalam Mundilarto (2010: 9), Anderson dan Krathwohl
melakukan revisi taksonomi Bloom untuk ranah kognitif agar lebih terkait dengan
teori belajar yang relevan saat ini. Mereka menggabungkan dimensi kognitif dan
pengetahuan. Keenam tingkatan taksonomi Bloom yang sudah direvisi Anderson dan
Krathwohl yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi,
dan menciptakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abruscato,
Joseph. 1992. Teaching Children Science, a Discovery Approach. New York: Allyn
and Bacon.
Brotherton,
P. N., & Preece, P. F. W. (1995). Science
process skills: Their nature and
interrelationships. Research in Science
& Technological Education, 13(1), 5-12.
Chakim,
Abdulloh. 2010. “Pengembangan Penilaian Berkesinambungan di Madrasah Aliyah
Negeri Tulungagung 2”. Tesis, Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Dimyati
dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
------------------------------.
2006. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Indrawati.
2000. Keterampilan Proses Sains.
Depdikbud-Dirjen Dikdasmen-PPG IPA Bandung.
Moh.
Uzer Usman. 2006. Menjadi Guru
Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moedjiono
dan Dimyati. 1992. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: Depdikbud.
Ozgelen,
Sinan. (2012). Students’
Science Process Skills within a Cognitive Domain Framework. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology
Education, 2012, 8(4), 283-292.
Patta
Bundu. 2006. Model Keterampilan Proses
dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran
Sains SD. Jakrta: Depdiknas
Reni,
et.al, (2013). Pengembangan Integrated
Assessment untuk Mengukur Penguasaan Materi Ajar Listrik Magnet dan
Keterampilan Proses Sains Siswa SMA.
Richard
J. Heuer Jr . 1999. Psychology of
Intelligence Analysis. published by Center for the Study of Intelligence.
Rustaman,
N.Y. (2003). Strategi Belajar Mengajar
Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FMFISIKA UPI.
Suherman,
E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk
Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung:
Wijayakusumah 157.
Komentar
Posting Komentar